Donasiberkah.id - Roda kehidupan terus bergulir. Biduk rumah tangga Zaid dan Zainab berlayar, namun terseok diterpa badai. Hingga Zaid menjumpai sang ayah angkat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, meminta izin untuk menceraikan Zainab. Nabi menolak keinginannya. Beliau bersabda, “Bertakwalah kepada Allah. Tetaplah bersama istrimu.” Kemudian Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya,
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan mengatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.” (Q.s. Al-Ahzab: 37).
Allah Ta’ala mengabarkan kepada Nabi-Nya bahwa Zainab binti Jahsy akan menjadi istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, jika diungkap sekarang Nabi khawatir hal ini akan menjadi isu hangat yang digoreng orang-orang munafik, ‘seorang ayah kok menikahi mantan istri anaknya’. Perlu diketahui, budaya Arab kala itu menganggap anak angkat sama dengan anak kandung. Syariat hendak menghapus tradisi ini.
Anak angkat tak sama dengan anak kandung. Jalan untuk menghapus tradisi ini adalah pernikahan Nabi dengan Zainab. Dan nasab Zaid pun dikembalikan kepada ayah aslinya. Sebelumnya Zaid bin Muhammad menjadi Zaid bin Haritsah (Muhibbuddin ath-Thabari: as-Sumthu ats-Tsamin Hal 170-171).
Artinya, Budaya Arab kala itu pun mengalami seleksi. Ia harus menyesuaikan diri dengan syariat Islam. Bukan syariat yang menyesuaikan dengan budaya yang ada di masyarakat. Demikian juga dengan budaya-budaya lainnya. Baik atau buruknya suatu budaya ditimbang dengan syariat.
Baca Juga : Ketaatan Zainab Kepada Allah Dan Rasululnya
#Menikah dengan Nabi ﷺ
Bisa jadi perintah Allah dan Rasul-Nya bertentangan dengan kehendak manusia. Saat menjalaninya, pun kadang terasa gejolak dalam jiwa. Tapi di balik itu semua terdapat hikmah besar yang bermanfaat untuk pelakunya di dunia dan akhirat. Demikian juga yang dirasakan Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy radhiallahu ‘anha.
Ia diperintahkan menikahi seseorang yang shaleh dan baik, namun tidak memiliki kafa-ah dengan dirinya (tidak sekufu). Tapi ia tundukkan kehendak dirinya untuk menaati Allah dan Rasul-Nya.
Dalam rumah tangganya ia merasakan ketidak-harmonisan dan ketidak-cocokan. Namun di balik itu, Allah persiapkan dirinya untuk menjadi istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan di surga. Tidak hanya itu, melalui perantara dirinya terbentuklah hukum syariat yang berlaku hingga hari kiamat.
Akhirnya, rumah tangga Zaid dan Zainab tak bisa dipertahankan. Setelah selesai masa iddahnya, Rasulullah berkata kepada Zaid, “Pergilah, sebut aku pada dirinya.” Maksudnya, beliau hendak menikahinya.
Zaid berkata, “Saat Rasulullah menyatakan itu. Aku pun merasa gembira. Aku pergi menemuinya. Saat berdiri di pintunya, kusampaikan padanya, ‘Wahai Zainab, Rasulullah mengutusku dan menyebut dirimu’. Zainab menjawab, ‘Aku belum mau berbicara apapun hingga aku mendapat keputusan dari Rabbku’. Kemudian ia pergi menuju ruang shalatnya (Riwayat Muslim dalam Kitab an-Nikah, 1428).
Kemudian Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya,
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَ يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولاً
“Tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (Q.s. Al-Ahzab: 37).
Diriwayatkan ketika Rasulullah menikahi Zainab, orang-orang munafik mengunjungi beliau.
Mereka berkata, “Muhammad ini mengharamkan (mantan) istri dari anak, tapi dia sendiri menikahi (mantan) istri anaknya.” Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya,
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab 33 Ayat : 40).
Allah Ta’ala juga berfirman,
ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab 33 : 5). (Muhibbuddin ath-Thabari: as-Sumthu ats-Tsamin Hal 171-172).
Dari peristiwa ini kita mengetahui, Nabi ﷺ pun tak bebas dari lisan-lisan manusia. Padahal beliau telah dipuji Allah dengan keagungan akhlaknya. Apalagi kita. Kisah ini juga menyadarkan kita, memadamkan tradisi yang bertentangan dengan syariat tidaklah mudah. Pasti akan menimbulkan gejolak. Minimal muncul suara-suara sumbang yang menentang.
Dengan turunnya firman Allah:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا…
“Tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia…” (QS. Al-Ahzab 33 : 37).
Zainab radhiallahu ‘anha membanggakan dirinya di hadapan istri-istri nabi yang lain. Ia berkata,
زوجكنَّ آباؤكنَّ، وزوَّجني الله من فوق سبع سموات
“Kalian dinikahkan oleh bapak-bapak kalian. Sedangkan aku langsung dinikahkan oleh Allah dari atas langit ketujuh.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab Tauhid 6984 dan at-Turmudzi 3213).
Dari ucapan Ibunda Zainab radhiallahu ‘anha, kita dapat mengetahui betapa Allah memuliakannya setelah ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Walaupun hal itu bertentangan dengan keinginannya. Allah muliakan dia menjadi istri Rasulullah dan Allah yang menjadi wali nikah untuknya. Ucapan Ibunda Zainab juga menunjukkan bahwa keyakinan para sahabat radhiallahu ‘anhu bahwa Allah itu berada di atas. Bukan dimana-mana.
Pesta pernikahan Nabi dengan Zainab adalah pesta yang paling besar dan paling utama dibanding pesta pernikahan dengan istri-istri beliau yang lain. Beliau menjamu orang-orang dengan roti dan daging sampai para tamu merasa kenyang semua.
Hikmah Pernikahan Zainab dengan Nabi ﷺ
Diriwayatkan dari Ali bin al-Hussein, Nabi mendapat wahyu dari Allah Ta’ala bahwa Zaid akan menceraikah Zainab.
Dan Allah akan menikahkan Zainab dengannya. Ketika Zaid bercerita kepada Nabi tentang Zainab yang tak menaatinya, ia paham bahwa istrinya ingin berpisah dengannya. Rasulullah memberi arahan padanya dengan mengatakan,
اتَّقِ اللهَ فِي قَوْلِكَ، وَأَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ
“Bertakwalah kepada Allah dalam ucapanmu. Tahanlah istrimu bersamamu.”
Padahal Nabi tahu bahwa Zaid akhirnya akan menceraikannya, dan beliau yang akan menikahi mantan istrinya. Inilah yang beliau rahasiakan. Beliau tidak malah memprovokasi dan menjadi penyebab perceraian meskipun beliau tahu perceraian itu akan terjadi. Beliau khawatir nanti orang-orang akan berkomentar karena ia menikahi Zainab yang merupakan mantan istri anak angkatnya.
Allah mengkritik sikap Nabi kala itu. Sikap yang khawatir terhadap pendapat masyarakat dalam sesuatu yang Allah bolehkan.
Allah mengkritik ucapan nabi “Tahan istrimu” padahal beliau tahu kalau Zaid akan menceraikannya. Dan Allah lah yang lebih berhak untuk ditakuti dalam keadaan apapun.
Dari peristiwa ini, Ahlussunnah wal Jamaah meyakini bahwa Nabi ﷺ itu ma’shum dari kesalahan-kesalahan besar.
Ma’shum dari segala sesuatu yang menyebabkan syariat berkurang atau bertambah. Adapun tentang kesalahan yang sifatnya minor, beliau melakukannya dan langsung mendapat teguran dari Allah Ta’ala.
Maukah sahabat jadi bagian dari pensejahtera anak-anak yatim dan dhuafa? Yuk tunaikan zakat, infaq-sedekah maupun wakaf di link kebaikan di bawah ini: