Donasiberkah.id- Status ekonomi yang berbeda, merupakan bagian dari realita kehidupan yang tidak bisa dipungkiri. Kondisi ini mestinya tidak mengganggu keharmonisan hubungan antara individu masyarakat yang berbeda status ekonominya, asal masing-masing mengerti hak dan kewajibannya.
Karena mereka sebenarnya saling membutuhkan; si miskin butuh si kaya, begitu sebaliknya. Disamping juga, tidak ada jaminan bahwa kondisi itu akan berlangsung selamanya.
Terkadang bisa berubah seratus delapan puluh derajat, si miskin menjelma menjadi orang kaya sementara si kaya terpuruk menjadi si miskin.Inilah alasan lain, kenapa si miskin dan si kaya selalu saling membutuhkan.
Namun sangat disayangkan, betapa banyak orang yang tidak mengerti, pura-pura tidak tahu atau memang tidak mau tahu masalah ini. Akibatnya berbagai macam permasalahan bermunculan.
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin mengatur hubungan antara yang kaya dan yang miskin, agar terjalin rasa kasih sayang diantara sesama. Zakat yang Allâh Azza wa Jalla wajibkan atas orang kaya lalu diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya, merupakan salah satu dari cara Islam mengatur hubungan antara si kaya dan si miskin.
Dengan ini, si kaya akan menyadari bahwa dalam harta mereka ada bagian untuk orang-orang miskin atau tidak mampu. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
#وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (maksudnya orang miskin yang tidak meminta-minta)“. (QS. Adz-Dzariyat 51 Ayat :19).
Diantara yang berhak menerima zakat dari orang kaya adalah al-ghârim (orang yang terlilit hutang). Namun penerima zakat yang satu ini harus memenuhi beberapa kriteria sehingga zakat yang dikeluarkan oleh orang-orang kaya tepat sasaran dan tidak berpotensi menyuburkan ketamakan.
Dengan demikian, hikmah zakat akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Yang berhak menerima, merasa terbantu dan tidak berpikir untuk melakukan tindakan negatif.
Baca Juga : Bagaimana Jika Menunaikan Zakat Tanpa Amil?
Sementara si kaya merasa tenang dan nyaman karena sudah melaksanakan syari’at dengan benar dan akan mendapatkan limpahan do’a dari si miskin.
Disamping juga, dia terlepas dari rencana negatif sebagian orang yang mungkin dengan dalih terpaksa melakukan kejahatan.
#Definisi Al-Gharim (Bangkrut)
Dalam mendefinisikan al-ghârim, para Ulama’ berbeda-beda. Ada yang mengatakan, al-ghârim adalah orang yang terlilit hutang. Ada juga yang menambahkan definisi ini dengan menyertakan penyebabnya.
Mujâhid rahimahullah mengatakan al-ghârim adalah orang yang menanggung hutang karena rumahnya terbakar, atau hartanya terseret banjir, atau untuk memenuhi kebutuhan keluarganya (Jami'ul Bayan 'an Ta'wilil Qur'an, Ibnu Jarir at-Thabari).
Ibnu Atsir rahimahullah menambahkan, al-ghârim adalah orang yang menjamin pelunasan hutang orang lain, atau orang yang bangkrut guna mencukupi kebutuhan hidup, tidak untuk berbuat maksiat atau berlaku boros (tabdzir) (Jami'ul Ushul fi ahaditsi Rasul, Ibnu Atsir).
Berdasarkan ini, Ulama’ fiqh menentukan kriteria tertentu bagi al-ghârim yang berhak menerima zakat ditinjau dari faktor penyebab pailit atau terlilit hutang.
Faktor-faktor Terlilit Hutang
Secara garis besar, ada dua jenis penyebab seseorang terlilit hutang atau menjadi al-ghârim:
1. Ghârim limaslahati nafsihi (Terlilit hutang demi kemaslahatan atau kebutuhan dirinya).
2. Ghârim li ishlâhi dzatil bain ( Terlilit hutang karena mendamaikan manusia, qabilah atau suku).
Kedua jenis al-ghârim diatas berhak menerima zakat tetapi dengan syarat tambahan pada ghârim linafsihi yaitu harus dalam keadaan miskin. Sedangkan untuk ghârim li ishlâhi dzatil bain maka boleh diberi zakat meski dia kaya.
#Gharim Li Maslahati Nafsihi
Pada jenis ini ulama mendefinisikan kriteria al-gharîm yang berhak menerima zakat, yaitu mereka yang terjerat hutang untuk maslahat dirinya dan keluarganya, seperti orang yang berhutang untuk makan, pakaian, tempat tinggal atau berobat dan sebagainya.
Al-Ba’li rahimahullah berkata, “Al-ghârim adalah orang yang berhutang untuk menafkahi diri dan keluarganya atau untuk berpakaian.” (Al-Muthli’ ‘Ala Abwâbil Muqni’, Imam abu Abdillah Syamsuddin).
Juga termasuk kategori al-ghârim jenis ini adalah orang yang terkena bencana alam atau musibah lainnya yang mengakibatkan hartanya habis, contohnya : banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran, pencurian dan sebagainya yang mengakibatkan mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan pokok. Sehingga mereka termasuk fuqara’ (orang-orang fakir).
Inilah yang disabdakan Rasulullah ﷺ dalam potongan hadits yang panjang dari shahabat Qabishah Radhiyallahu ‘anhu :
#وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ
“Dan seorang yang tertimpa bencana sehingga hartanya musnah. Orang ini dihalalkan meminta-minta sampai kembali mendapat harta untuk hidup“. (HR. Muslim).
[caption id="" align="alignnone" width="653"] Erupsi Gunung Semeru 5 Desember 2021[/caption]Maukah sahabat jadi bagian dari pensejahtera anak-anak yatim dan dhuafa? Yuk tunaikan zakat, infaq-sedekah maupun wakaf di link kebaikan di bawah ini: