Donasiberkah.id - Dalam memaknai musibah tergantung kondisi keimanan manusia yang ditimpanya.
Istilah “musibah” dari kata ashaaba-yushiibu, artinya yang menimpa, bisa berupa penyakit dalam tubuh manusia ataupun bencana alam.
Allah SWT berfirman:
“Tidak ada bencana apapun yang menimpa di bumi dan tidak pula menimpa dirimu kecuali telah tertulis dalam Kitab sebelum Kami mewujudkannya.” (QS al-Hadid: 22).
Artinya, musibah itu tidak terjadi kecuali sesuai dengan ketetapan-Nya di al-lauhul mahfuzh.
Namun, dalam memaknai musibah tersebut tergantung kondisi keimanan manusia yang ditimpanya. Bila yang tertimpa adalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan selalu dalam kemaksiatan, maka musibah tersebut merupakan azab.
Seperti itulah Allah SWT mengazab kaum Aad, Tsamud, Fir’aun, dan kaum Nabi Luth. Dalam surah al-Fajr ayat 6-14, Allah menyebutkan sebab ditimpakannya azab kepada umat terdahulu, pertama, mereka menyimpang dari ajaran-Nya, “alladziina thaghau fil bilaadi”.
Kedua, mereka membuat kerusakan di muka bumi, “fa aktsaruu fiihal fasaad”.
Baca Juga : Pesan Umar bin Khattab Ketika Menghadapi Musibah
Ketiga, mereka melakukan dosa yang mengundang murka Allah sehingga turunlah azab, “fashabba alaihim rabbuka satha adzaab”.
Sebaliknya, jika yang tertimpa musibah adalah orang-orang yang beriman tapi lalai sehingga jatuh dalam maksiat dan dosa-dosa, itu artinya peringatan. Seakan Allah menegur agar jangan dilanjutkan perbuatan bejat tersebut dan segera kembali kepada-Nya, “wa aniibuu ilaa rabbikum.” (QS az-Zumar: 54).
Ini memang cara Allah supaya mereka sadar dan bertobat. Allah SWT berfirman: “Walanudziiqannahum minal ‘adzaabil adnaa duunal ‘adzaabil akbari la’allahum yarj’uun” (Kami pasti akan menimpakan kepada mereka sebagian azab yang dekat di dunia sebelum adzab yang besar di akhirat agar mereka kembali ke jalan yang benar) (QS as-Sajdah: 21).
Bila yang tertimpa musibah adalah orang-orang saleh, itu tidak lain adalah ujian ibtila, untuk membersihkan dosa-dosa dan mengangkat derajat mereka.
Allah SWT berfirman: ”Alladzii khalaqal mauta wal hayaata luabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalaa (Dialah Allah yang telah menciptakan kehidupan dan kematian untuk menguji kamu siapa yang paling baik amalnya)’.” Kata liyabluwakum artinya sebagai ujian, dengannya seseorang nampak apakah tetap istiqamah berbuat baik atau malah sebaliknya.
Dalam surah al-Baqarah ayat 155, Allah pastikan bahwa ujian sebuah keniscayaan, berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, kematian, dan kekurangan buah-buhan itu untuk menunjukkan siapa yang jujur dan siapa yang pembohong. Lebih dari itu untuk mengantarkan orang-orang yang sabar agar lebih tinggi derajatnya. “Wa basy syirish shaabiriin” (Sampaikan kabar gembira kepada mereka yang sabar).