Donasiberkah.id - Dalam dunia Islam terdapat satu lembaga atau instansi penaggulangan harta kaum muslimin yang disebut Baitul Maal, dari sana para mustahik menerima manfaat yang begitu berarti. Dengan adanya Baitul Maal ini menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan kepeduliaan ekonomi masyarakatnya. Apa saja yang bisa kita ambil dari Baitul Mall dalam Islam; Yuk kita pelajari bagia dari mozaik Islam ini.
#A. Pengertian Baitul Maal
Baitul maal berasal dari bahasa Arab (bayt al-mal) yang bermaksud “rumah harta”. Dalam sejarah Islam, baitul maal merupakan institusi keuangan yang bertanggungjawab mentadbir cukai. Baitul maal berfungsi sebagai perbendaharaan khalifah dan sultan yang mengurus kewenangan pribadi dan perbelanjaan kerajaan. Ia juga mengurus pengagihan zakat untuk rakyat awam. Pakar ekonomi Islam moden menganggap rangka institusi baitul maal merupakan cara yang sesuai untuk masyarakat Islam sekarang.
Pengertian Baitul Maal menurut para Ulama ialah “Pihak yang mengelola keuangan Negara, mulai dari menghimpun, memungut, mengembangkan, memelihara hingga menyalurkannya”.
Definisi tersebut ditegaskan oleh Imam Mawardi dalam kitab Ahkam Sulthoniyyah dengan mendefinisikannya sebagai “Tempat/wadah untuk memelihara/ menjaga hak-hak keuangan Negara. Baitul Maal juga diartikan petugas yang berwenang dalam mengatur keuangan Negara tersebut.”
#B. Sejarah Baitul Maal
Baitul Maal pertama sekali dirumuskan dan didirikan oleh Rasulullah ﷺ dengan sangat simpel, hal tersebut dibuktikan dengan riwayat-riwayat yang menyebutkan pendelegasian tugas Baitul Maal oleh Rasulullah ﷺkepada beberapa orang sahabat tertentu, seperti tugas pencatatan, tugas penghimpunan zakat hasil pertanian, tugas pemeliharaan zakat hasil ternak dan juga pendistribusian. Hal tersebut menjadi landasan yang kuat bahwa Baitul Maal sudah ada sejak zaman Rasulullah ﷺ sekalipun belum dalam bentuk institusi yang baku. Selanjutnya dimasa kekhalifahan Abu Bakar tidak terlalu ada perubahan yang besar berkaitan dengan Baitul Maal.
Perubahan yang besar terjadi pada masa kekhalifahan umar bin Khattab dengan dioperasikannya system administrasi pencatatan dengan system “Ad Diwaan”. Selanjutnya Baitul Maal semakin berkembang dimasa-masa berikutnya sampai Baitul Maal telah terbentuk sebagai lembaga ekonomi atas usulan seorang ahli fikh Walid bin Hisyam. Sejak masa itu dan masa-masa selanjutnya (dinasti Abasiyah dan Umayah) Baitul Maal telah menjadi lembaga penting bagi Negara (mulai dari penarikan zakat (juga pajak), ghonimah, kharaj, sampai membangun jalan, menggaji tentara dan juga pejabat Negara serta membangun sarana sosial).
Dilihat dari konteks masa sekarang Baitul Maal dimasa itu menjalankan fungsi sebagai Departemen Keuangan, Departemen Sosial dll. Namun pengertian Baitul Maal dalam konteks istilah BMT kini lebih menyempit maknanya. Baitul Maal dalam konteks BMT hanya menjalankan fungsi sosial yang lepas dari kaitan politik Negara.
Baitul Maal dalam kaitan BMT mempunyai kegiatan yang menyempit yaitu hanya menerima dan menyalurkan zakat, infak, shodaqoh (ZIS) yang tidak bersifat komersial. Penyalurannya difokuskan kepada mustahiknya yaitu delapan asnaf yang telah ditentukan dalam aturan syariah dengan prioritas utama untuk fakir miskin. Baitul Maal dalam kaitannya dengan BMT ialah menyalurkan dana Qordhul Hasan yang tidak berorientasi komersial untuk keperluan kesejahteraan dan pengembangan ekonomi ummat.
Dalam perkembangannya kedepan pengelolaan dana ZIS ini telah diakomodir dengan pemberlakuan UU no 38 tahun 1998 tentang pengelolaan zakat. Namun BMT masih signifikan sebagai lembaga yang bersinggungan langsung dengan akar rumput kaum dhuafa yang dengan demikian memiliki kesempatan besar sebagai mitra kerja Lembaga Pengelola Zakat, baik berfungsi sebagai unit penghimpun ZIS maupun sebagai mitra menyalurkan ZIS.
Jadi, baitul maal merupakan lembaga atau pihak (Arab: al jihat) yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara, sejarah keberadaannya ternyata cukup menarik untuk disimak, berikut ini sejarah ringkas baitul maal tersebut dari sejak jaman nabi hingga jaman kekhalifaan yang terakhir.
#1. Masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam (1-11 H/622-632 M)
Baitul Mal dalam arti terminologisnya seperti diuraikan di atas, sesungguhnya sudah ada sejak masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, yaitu ketika kaum muslimin mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) pada Perang Badar (Zallum, 1983). Saat itu para shahabat berselisih paham mengenai cara pembagian ghanimah tersebut sehingga turun firman Allah SWT yang menjelaskan hal tersebut: ‘Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, Harta rampasan perang itu adalah milik Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar orang-orang yang beriman.‘ (QS Al Anfaal : 1)
Baca Juga : Ada Pasar Surga di Hari Jumat Ini Kabar Rasulullah ﷺ
Dengan ayat ini, Allah menjelaskan hukum tentang pembagian harta rampasan perang dan menetapkannya sebagai hak bagi seluruh kaum muslimin. Selain itu, Allah juga memberikan wewenang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam untuk membagikannya sesuai pertimbangan beliau mengenai kemaslahatan kaum muslimin. Dengan demikian, ghanimah Perang Badar ini menjadi hak bagi Baitul Maal, di mana pengelolaannya dilakukan oleh Waliyyul Amri kaum muslimin yang pada saat itu adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam sendiri sesuai dengan pendapatnya untuk merealisasikan kemaslahatan kaum muslimin (Zallum, 1983).
Pada masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ini, Baitul Maal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu Baitul Maal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena saat itu harta yang diperoleh belum begitu banyak.
Kalaupun ada, harta yang diperoleh hampir selalu habis dibagi-bagikan kepada kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam senantiasa membagikan ghanimah dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya peperangan, tanpa menunda-nundanya lagi. Dengan kata lain, beliau segera menginfakkannya sesuai peruntukannya masing-masing.
Seorang shahabat bernama Hanzhalah bin Shaifi yang menjadi penulis (katib) Rasulullah ﷺ menyatakan : ‘Rasulullah menugaskan aku dan mengingatkan aku (untuk membagi-bagikan harta) atas segala sesuatu (harta yang diperoleh) pada hari ketiganya : Tidaklah datang harta atau makanan kepadaku selama tiga hari, kecuali Rasulullah mengingatkannya (agar segera didistribusikan). Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam tidak suka melalui suatu malam sementara ada harta (umat) di sisi beliau. (Zallum, 1983).
Pada umumnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam membagi-bagikan harta pada hari diperolehnya harta itu. Hasan bin Muhammad menyatakan :‘Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam tidak pernah menyimpan harta baik siang maupun malamnya…‘
Dengan kata lain, bila harta itu datang pagi-pagi, akan segera dibagi sebelum tengah hari tiba. Demikian juga jika harta itu datang siang hari, akan segera dibagi sebelum malam hari tiba. Oleh karena itu, saat itu belum ada atau belum banyak harta tersimpan yang mengharuskan adanya tempat atau arsip tertentu bagi pengelolaannya (Zallum, 1983).
Maukah sahabat jadi bagian dari pensejahtera anak-anak yatim dan dhuafa? Yuk tunaikan zakat, infaq-sedekah maupun wakaf di link kebaikan di bawah ini: